Apel


Hujan tidak pernah setidak menyenangkan ini.
Sabtu pagi, miliaran tetes hujan membasahi tanah bumi yang seolah merindukannya. Mereka jatuh ke bumi seperti air mata yang membasahi kedua pipimu di malam itu. Salah satu malam yang tidak pernah bisa aku lupakan selama hidupku. Malam yang menyadarkan aku bahwa tiga tahun mengenal dirimu, ah bukan.. mencinta dirimu seperti hal yang paling sia-sia kulakukan seumur hidupku.
Di detik pertamaku mengenal dirimu. Detik itulah detik pertamaku jatuh cinta padamu. Namun, detik itulah detik pertamaku menjadi orang terbodoh di muka bumi ini. Tidak peduli seberapa bagus nilai akademikku, tidak peduli seberapa cemerlang otakku. Tetap menjadi orang terbodoh jika berada di hadapanmu.
Bodoh.
Bodoh karena mencintai dirimu. Bodoh karena berusaha menyakiti dirimu. Bodoh karena harus melintasi ribuan kilometer jarak di setiap pekannya seperti hari ini hanya untuk berdiri di depan rumahmu dan bodoh karena takut untuk menyapa dirimu.
Aku memasuki fase dimana aku berusaha untuk tidak mencintai dirimu karena aku mencintai dirimu. Berusaha untuk tidak mencintai dirimu karena kamu mencintai orang lain. Berusaha untuk tidak mencintai dirimu dengan cara menyakiti dirimu. Meninggalkan sebuah luka yang besar di hatimu dan memunculkan bencimu terhadap aku. Pikirku, dengan kamu membenci diriku, aku bisa berhenti mencintai dirimu.
Naif dan bodoh di saat yang bersamaan.
Mengapa kulakukan itu? Sakit hati? Mungkin. Karena sakit hati bisa membuat kita malas untuk jatuh cinta. Itulah mengapa kulakukan itu. Itulah caraku menambah sakit hatiku. Membuatmu membenciku akan menambah rasa sakit hatiku. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiranku.
Namun, itu salah. Rasa sakit hati itu tidak pernah memudarkan rasa cintaku padamu.
Itulah kenapa aku masih berdiri di sini. Di depan rumahmu. Di bawah miliaran tetes hujan. Dengan memegang payung hitam di tangan kiriku dan apel di tangan kananku.
Kamu tahu? Di Seoul sana, apel disebut sagwa. Sama seperti kata permintaan maaf. Itulah mengapa aku selalu menaruh sebuah apel di depan rumahmu di setiap pekan aku berdiri di depan rumahmu. Tidak peduli apapun yang terjadi, apel itu akan selalu menjadi permintaan maafku kepadamu. Karena aku tidak pernah berani berhadapan denganmu dan meminta maaf langsung.
Maafkan aku.
Istirahatlah dengan tenang disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar