Kepercayaan



Disclaimer : Apa yang saya tulis ini belum tentu sejalan dengan pemikiran anda. Saya hanya mengungkapkan apa yang saya pikirkan. Harap maklum.
Akhir pekan lalu seperti biasa, saya pergi ke toko buku untuk memuaskan hasrat saya terhadap buku. Melihat buku-buku buat saya adalah salah satu cara untuk menghilangkan stres. Setelah berkeliling  kurang lebih satu jam dan memilih buku untuk dibeli dan dibawa pulang, saya turun ke lantai dasar tepatnya ke kedai kopi dekat parkiran.

Di kedai itu, saya memesan caramel macchiato kesukaan saya. Setelah itu, saya duduk di salah satu kursi yang diletakkan di luar kedai. Sembari menunggu pesanan saya datang, saya mengambil buku yang saya beli sebelumnya dan membuka segel plastiknya. Beberapa menit kemudian, pesanan saya datang. Tidak lama berselang datang seorang wanita yang mencari kursi kosong karena kebetulan di meja lain sudah penuh. Dengan membawa minumannya sendiri dan sepiring berisi empat croissant, dia bertanya apakah dia bisa duduk di kursi kosong di hadapan saya. Saya mengiyakan. Dari basa-basi, saya mengetahui namanya adalah Hera (bukan nama sebenarnya) dan dia seorang ateis.

Sebelum melangkah ke pembicaraan saya dengan dia, saya akan menjelaskan dua hal yang cukup sering tertukar, dan saya mencoba untuk menjelaskan sesederhana mungkin.

Dua hal tersebut adalah ateis dan agnostik,

Ateisme adalah tidak percaya akan adanya Tuhan. Sedangkan agnostik adalah orang yang skeptis terhadap Tuhan dan tentunya agama. Tapi, tidak menepis kemungkinan adanya Tuhan. Kalau diberikan bukti yang kuat, bisa jadi dia akan mempercayai adanya Tuhan. Tanpa adanya bukti, seorang agnostik itu akan terus tetap mempertanyakan Tuhan dan agama. Singkatnya, agnostik itu tidak mau asal percaya.

Orang yang ateis tidak percaya sama sekali terhadap Tuhan. Bagi mereka, Tuhan itu tidak ada dan merupakan sebuah rekayasa umat manusia yang menginginkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Bicara soal ateis, saya jadi ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ada pegawai negeri yang saya lupa namanya terang-terangan mengaku ateis di Facebooknya. Lalu, dia dipukuli di kantor.

Sebenarnya, saya bingung. Kenapa ada orang yang sebal, benci, bahkan sampai menganiaya orang yang ateis. Itu kan pilihan dia. Kenapa orang-orang itu harus kesal dan sampai memukul?
Rata-rata mengatakan kalau mereka itu khawatir kalau orang-orang ateis ini akan menyebarkan pemikiran mereka dan menjadikan orang lain ateis. Beberapa yang lain ada juga yang bilang, kalau orang ateis ini jangan dikasih panggung untuk bicara karena, “Masyarakat Indonesia itu masih banyak yang labil dan mudah terpengaruh.”


Yaa itu salah iman mereka yang tidak kuat, sehingga mereka bisa labil dan mudah terpengaruh. Kalau kuat imannya, maka harusnya mereka tidak perlu khawatir akan terpengaruh. Kalau khawatir anggota keluarga kita yang terpengaruh, maka fokus kita adalah dengan mempertebal keimanan keluarga kita. Bukan mukulin yang ateis.

Memang, masyarakat Indonesia itu masih harus banget belajar menyikapi perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika itu kan maknanya adalah berbeda-beda tapi tetap (ber)satu. Dalam hal ini, beda bisa dalam bentuk suku, ras, budaya, dan agama termasuk yang tidak beragama juga.

Keadaan Hera yang menjadi seorang ateis menarik saya untuk mencoba memahami. Yaa bukan buat ikut-ikutan menjadi ateis juga. Hanya mencoba memahami.

Hera sudah menjadi ateis kurang lebih empat tahun. Katanya pilihan dirinya untuk menjadi ateis berawal dari pertanyaan-pertanyaan kritisnya yang pada akhirnya mengarahkannya ke ateisme.
Lalu, saya bertanya padanya, apakah agama dan Tuhan di mata dia. Dia menjawab kalau agama adalah bagian dari sejarah ragam budaya yang ada di dunia. Tuhan di mata dia seperti sebuah rekayasa yang diciptakan manusia sendiri atas dasar dua hal. Pertama, manusia sejak dahulu cenderung memuja hal-hal yang tidak dipahami. Dahulu manusia menyembah matahari, berhala, pohon lalu kini Tuhan yang menurutnya lebih abstrak. Kedua, bahwa manusia itu menciptakan Tuhan sebagai kontrol sosial.

Lalu, saya bertanya lagi, bagaimana cara dia menyikapi permasalahan hidup dan hal-hal yang ada di luar kemampuan dia. Hera menjawab rada panjang tapi kurang lebih mengatakan bahwa yang pasti dia tidak meminta kepada sesuatu yang mengawang-awing dan bahwa semua permasalahan ada solusi yang nyata dan membumi.

Dia sempat bertanya kepada saya, apa pendapat saya terhadap orang ateis seperti dirinya. Saya menjawab, ya biasa aja karena yang ada di dalam pikiran saya, orang ateis itu biasa aja.
Saya belajar untuk melihat apapun perbedaan yang ada sebagai ragamnya umat manusia. Saya melihat orang buta, orang yang kakinya tidak sempurna, orang ateis, orang gay itu sama seperti saya melihat orang yang tinggi, orang yang pendek, orang yang rambutnya keriting atau lurus atau botak dan lain-lain. Mungkin ini pengaruh saya banyak belajar macam-macam dan pernah pergi ke tempat yang pluralitasnya tinggi (Singapura).

Buat saya, semua perbedaan itu dapat dimaklumi. Saya ngga melihatnya sebagai sesuatu yang aneh. Mungkin ini juga yang membuat Hera ini mau terbuka terhadap saya.

Saya juga menanyakan tentang kasus pegawai negeri yang dipukul itu. Menurut dia, yang menganiaya juga harusnya dijerat pasal karena sesuatu yang jelas bahwa penganiayaan adalah sebuah pelanggaran.

Saya juga sempat menanyakan kepada salah seorang lulusan hukum (setelah pertemuan dengan Hera) dan dia membenarkan bahwa yang menganiaya harusnya ditangkap dan bisa diproses secara hukum dan bahwa sebenarnya hukum di Indonesia tidak bisa menangkap orang yang atas dasar pemikirannya. Artinya, si pegawai negeri itu harusnya tidak bisa dihukum penjara atas dasar penghinaan agama.

Si pegawai negeri itu juga terjerat pasal “pemalsuan identitas” karena di KTP tertulis Islam padahal dia ateis. Bagi saya ini aneh, kan Negara tidak menerima ateisme. Gimana caranya dia mau ngaku di KTP? Apalagi sistem e-KTP sekarang yang tidak ada pilihan “Atheis” atau minimalnya seperti yang tersedia kalau kita bikin KTP biasa dulu : Kepercayaan lain. Berarti orang-orang seperti Hera ini secara teknis tidak diterima oleh Negara. Negara tidak mau mengakui adanya mereka. Sama seperti Negara tidak mengakui mereka yang berkeyakinan di luar yang diterima Negara saat ini : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Padahal seperti yang kita tahu, di Indonesia ada banyak sekali kepercayaan tradisional. Seperti di Mentawai sana punya keyakinan sejak lama yang tidak diterima oleh Negara. Mereka juga percaya akan Tuhan yang banyak. Bayangkan, masyarakat seperti ini banyak di Indonesia. Sedih lihatnya kalau negara tidak mau mengakui keberadaan mereka. Lalu mereka warga negara apa?
Hera juga menanyakan masalah Pancasila kepada saya. Dia bertanya bagaimana dengan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan konsistensinya terhadap yang Hindu yang memiliki banyak dewa dan dewi.

Saya rada berpikir keras disini. Maklum karena ini bukan bidang saya. Tapi, saya jelaskan bahwa sering banget disalahartikan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat tadi bukan berarti percaya dengan satu Tuhan. Kalimat itu menerangkan bahwa setiap orang harus punya satu buah konsep ketuhanan dalam artian harus punya agama atau kepercayaan. Kan tulisannya “Ketuhanan” bukan “Tuhan” atau “Keagamaan”. Indonesia sadar bahwa setiap orang memiliki konsep ketuhanan masing-masing dan Indonesia mau setiap masyarakatnya percaya dengan sebuah keyakinan. Itulah mengapa Hindu bisa diterima, namun itulah juga mengapa ateisme tidak diterima di Indonesia.
Ketika berbicara dengan Hera ini, saya berusaha berbicara tanpa membawa agama. Kenapa? Sederhana. Karena mereka tidak percaya agama. Seperti ada rasa percuma bawa dalil agama, kan mereka juga ngga percaya. Seperti berusaha mematikan api yang terpicu dari listrik dengan menggunakan air. Ya tidak pengaruh. Yang mesti dilakukan adalah mematikan sumber listriknya.
Tapi, saya menemukan itu susah untuk dilakukan. Orang lain juga pasti demikian. Akhirnya, saya memutuskan dengan resiko yang cukup tinggi meminta Hera untuk meyakinkan saya, bahwa Tuhan itu tidak ada.

Dia bersemangat.
Dia membuka dengan pertanyaan, “Mengapa anda beragama Islam?”

Saya paham arah pertanyaan itu, pertanyaan itu seperti berusaha menyadarkan saya bahwa agama yang saya pilih diturunkan dari orang tua saya dan kalau orang tua saya beragama Hindu kemungkinan besar agama saya Hindu, itu menandakan bahwa ngga ada iman dan keyakinan dalam pilihan saya karena itu semua semacam by default.

Saya jawab, “Karena dari saya kecil bahkan hingga sekarang saya belajar tentang Islam dan pernah membandingkan dengan agama lain, saya berpikir bahwa cara dalam Islam adalah yang paling tepat menurut saya.”

Bisa dibilang, saya melihat agama itu sebagai ragam jenis cara untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Saya bahkan percaya bahwa kita semua itu berdoa kepada Tuhan yang sama yaitu Allah SWT dan siapapun nama yang umat manusia sebut dalam doanya, yang menjawab adalah Allah SWT kalau Dia berkehendak.

Banyaknya agama adalah pilihan akan banyaknya cara berkomunikasi dan hidup atas ajaran Tuhan. Di antara semua yang ada, saya merasa bahwa Islam adalah yang paling tepat. Di muka bumi ini mungkin ada ratusan bahkan mungkin ribuan agama atau kepercayaan, walaupun ada yang menyembah batu, atau matahari atau yang lainnya, namun saya percaya sesungguhnya hanya ada satu yang mendengarkan dan kalau berkendak akan mengabulkan yaitu Allah SWT.

Hera bertanya lagi, “Apakah anda percaya Tuhan dan apa bukti keberadaan Tuhan?”
Saya jawab, “Saya percaya Allah dan saya tidak perlu bukti lain karena saya merasakan kehadiran Allah.”
“Bagaimana anda bisa tahu Tuhan itu ada, apakah anda bisa melihat dan pernah ketemu?”
“Saya tidak pernah melihat udara tapi saya bisa tahu udara itu ada.”
“Udara kan bisa dibuktikan keberadaannya dengan sains. Tuhan tidak bisa.”
“Ya itu karena sains kita belum sampai kesana atau tepatnya tidak akan sampai disana.”
“Terus buktinya apa? Masa percaya begitu saja tanpa ada bukti?” dia menanyakan ini dengan dasar dia percaya bahwa kitab suci adalah rekaan manusia.
“Terlalu sering dalam hidup saya, terjadi sesuatu yang lebih dari sekedar kebetulan. Kalaupun kebetulan, sudah terlalu kebetulan. Saya meyakinkan kalau itu bukan kebetulan dan ada campur tangan Allah.”
“Misalnya?”
“Waktu di SMA, bisa dibilang saya adalah yang paling tidak pintar seangkatan. Dan waktu ujian seleksi untuk masuk perguruan tinggi, bisa dibilang kecil kemungkinan saya buat lulus. Selama itu, saya berdoa dengan khusyuk, berserah diri, meminta kepada-Nya. Dan akhirnya saya lulus.”
“Tapi anda pasti belajar kan?”
“Yaa tentu saja. Tapi saya dulu di SMA juga belajar dengan intensitas yang kurang lebih sama, toh juga tetap di peringkat bawah dan minim prestasi bahkan tidak ada. Makanya saya bilang, it’s too much of coincidence. Dan kejadian-kejadian seperti ini banyak sekali terjadi dalam hidup saya. Karena saya merasakan kehadiran Allah.”
“Oke, anda percaya Tuhan karena doanya dikabulkan. Bagaimana dengan doa orang miskin yang kelaparan di berbagai belahan dunia ini? Apakah Tuhan tidak mau mengabulkan doa mereka? Mengapa Tuhan pilih kasih? Mengapa justru orang yang sangat membutuhkan bantuan malah tidak dikabulkan doanya, mengapa orang serperti anda (mungkin dia lihat berkecukupan) malah dikabulkan? Memangnya anda lebih baik daripada mereka?”
“Di mata saya, Allah memberikan keadaan seperti ini sebagai ujian bagi saya. Saya harusnya seperti merupakan jawaban dari doa mereka. Bahwa Allah akan menjawab doa umat-Nya lewat tangan umat-Nya yang lain. Doa orang kelaparan itu, harusnya dijawab oleh saya. Karena Allah memberi tahu saya akan keadaan mereka. Artinya kalau mereka yang kemiskinan dan hampir mati kelaparan sudah berdoa kepada Allah tapi keadaan mereka tidak berubah, maka bukan salah Allah. Tapi salah saya yang sadar akan keadaan itu tapi tidak berbuat apa-apa.”
“Oke. Terus mengapa Tuhan senang menghukum kalau memang katanya Tuhan itu Maha Baik? Mengapa harus ada hukuman? Kenapa yang salah manusia? Kan Tuhan Maha Kuasa termasuk kuasa untuk membuat manusia tidak berbuat kesalahan?”

Saya rada berpikir keras lagi disini untuk mengilustrasikannya.
“Begini. Saya menganggap Allah adalah pemimpin terhebat di muka jagad raya ini. Dari yang saya tahu, pemimpin yang baik itu tidak menyuruh anak buahnya. Tapi pemimpin yang baik itu mengkondisikan sebagaimana rupa, sehingga anak buahnya tahu apa yang benar untuk dilakukan. Anak buah tersebut akan melakukannya atas kesadaran penuh dan bukan karena keterpaksaan atau disuruh-suruh. Pemimpin yang baik akan mengungkapkan fakta sebanyak-banyaknya, memberikan pilihan seluas-luasnya dan dengan kemampuannya membuat anak buahnya sadar. Itulah yang Allah berikan kepada kita. Fakta, kejadian, kenyataan, pilihan ditunjukkan semua kepada kita. Kalau ada satu hal yang diserahkan kepada kita, itu adalah pengambilan keputusan. Sisanya ya di bawah kuasa Allah. Ambillah sebuah keputusan lalu jalankan. Kalau terasa berat, jalani saja terus karena Allah sudah berjanji tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan kita sendiri.”
“Lalu, kenapa harus ada hukuman?”
“Untuk orang yang sadar akan pilihan yang benar tapi ngga menjalaninya, maka itu bukan hukuman tapi konsekuensi. Umpamanya begini. Misalkan anda punya anak dan tentunya anda tidak mau anak anda celaka, bukan? Nah situasinya adalah kalau anak anda main sepeda dengan kecepatan tinggi dan dia bersepeda di jalan yang penuh lubang. Maka pasti anda akan menahannya lalu menerangkan apa yang akan terjadi atas kelakuannya. Anda terangkan sejelas-jelasnya, anda berikan contoh-contoh serupa, lalu anda yakin anak anda mengerti. Kemudian anak anda tetap melakukannya karena nakal dalam artian dia sadar dia salah dan tetap melakukannya. Apa yang anda lakukan? Ingat bahwa anda tidak mau anak anda itu celaka apalagi sampai meninggal. Maka pilihannya adalah menghukum anak anda biar dia jera. Hukuman itu bukan sama sekali karena kita benci tapi karena kita sangat mencintai anak kita. Toh juga setelah menghukum anak anda, anda akan tetap mencintai anak anda. Nah, itu ilustrasinya baru satu anak. Bayangkan anda adalah orang tua dari tujuh miliar anak. Bayangkan bagaimana cara memimpin dengan baik dengan jumlah segitu banyaknya. Itulah mengapa Allah adalah pemimpin yang terbaik bagi umat-Nya dan oleh kita umat-Nya tidak akan bisa dipahami. Karena banyak yang tidak paham, maka banyak yang enggan untuk menurut dan percaya.”

Setelah penjelasan panjang saya itu dia izin undur diri karena harus ke bandara untuk mengejar penerbangannya. Tak lupa dia berterima kasih atas pembicaraan yang menyenangkan tadi. Saya mempersilahkan.

Di benak orang yang tidak percaya, saya pasti tampak bodoh dan naif. Tapi, dibenak kita yang beragama, mereka yang tidak percaya Tuhan adalah bodoh dan naif. Terus kita mesti bagaimana?
Gampang. Kita harus menerima dan terbuka. Terbuka dalam artian kita mungkin tidak setuju dengan opini dan pilihan mereka, tapi kita bisa memahami bahwa perbedaan bukan hanya karena pilihan, tapi juga keadaan yang diciptakan Tuhan. Bukan urusan kita untuk membuat seisi Bumi jadi seragam.
Tugas kita adalah hidup nyaman, damai, dan bahagia dengan perbedaan tersebut. Biarlah, ada orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Tapi mari kita yang percaya akan kuasa Tuhan, yang membantu menjamin mereka pun bisa hidup dengan nyaman dan tentram bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar