Kalau Saya Jadi Warga Jakarta?
Disclaimer : Ini bukan kampanye.
Hanya opini dan gagasan. Dan jangan tersinggung.
“Kalau
jadi warga Jakarta, mau milih siapa?”
Itulah
pertanyaan yang sering ditanyakan akhir-akhir ini kepada para warga Indonesia
di luar Jakarta. Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan. Karena pemilihan
Gubernur Jakarta tahun depan ini adalah hal yang memang menarik untuk dibahas,
ngga cuma oleh orang Jakarta tapi oleh orang luar Jakarta.
Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta kali ini diikuti oleh tiga pasangan. Ada Basuki Tjahaja
Purnama yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, lalu ada Agus Harimurti
Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni, dan ada Anies Baswedan yang
berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Nah,
kalau saya ditanya, “Kalau jadi warga Jakarta, mau milih siapa?” Mungkin ini
opini sekaligus jawaban saya.
Saya akan
cenderung untuk memilih Anies Baswedan.
Saya
memang mengagumi Pak Anies sejak lama. Beliau punya kepedulian yang cenderung
naif terhadap Indonesia. Dalam darahnya mengalir darah pejuang yang menurun
dari kakeknya, Abdurrahman Baswedan, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Pak Anies
ditawari untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Beliau ngga pernah
memancing-mancing jabatan tersebut, beliau juga ngga mondar-mandir berburu
jabatan tersebut. Beliau ditawari.
Anies ini
memang ambisius. Ambisinya, besar dan banyak sekali orang bilang naif. Anies
percaya banget bahwa beliau bisa jadi bagian yang mengubah Indonesia menjadi
lebih baik daripada sebelumnya. Beliau percaya beliau bisa menciptakan
perubahan.
Ngga
banyak yang tahu, dulu beliau pernah ikut pelatihan ketua OSIS se-Indonesia dan
dari ratusan ketua OSIS yang ikut, beliau yang dipilih menjadi ketua OSIS
se-Indonesia. Jabatan macam apa itu? Lalu pas beliau kuliah di UGM, dia jadi ketua
senat mahasiswa. Dia bahkan dulu, udah menentang Tommy Soeharto terkait kasus
BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) dan ikut memimpin demo protes
terhadap SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Pak Anies juga menggantikan
Nurcholish Madjid menjadi rector Paramadina. Orang macam apa coba yang
dipercaya menggantikan Cak Nur jadi rektor? Masih 38 tahun pula umurnya (jadi
rektor termuda). Bahkan, Pak Anies membuat pelajaran anti korupsi di Paramadina
lengkap dengan kurikulumnya pula. Sampai-sampai banyak orang dari universitas
lain ngga cuma dari dalam negeri tapi dari luar negeri datang ke Paramadina
buat belajar kurikulum itu.
Masalah
korupsi, Pak Anies ditawari dan mengambil kesempatan menjadi anggota Tim 8 KPK
yang meneliti kriminalisasi Bibit-Chandra dalam kasus Cicak vs Buaya. Pak Anies
juga ditawari dan mengambil kesempatan menjadi Ketua Komite Etik KPK. Ditawari
jadi capres via konvensi Demokrat. Sampai ditawari jadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan.
Entah
kenapa, orang selalu mempercayai dia dan memberikan dia kesempatan dan
kesempatan itu dia ambil.
Makanya,
saya ngga kaget ketika dia ditawari jadi calon Gubernur DKI dan mengambilnya.
Karena dia memang selalu seperti itu. Coba saya tanya kepada pembaca, kalau
pembaca ditawari kesempatan untuk mengubah Indonesia, lalu anda tahu kalau anda
mampu, anda punya kualifikasinya, apakah anda mau mengambil kesempatan itu?
Besar kemungkinan
jawaban anda tidak. Seperti umumnya orang lain dengan berbagai alasannya.
Beliau
memang punya ambisi di politik dan ini bukanlah hal baru. Ambisinya pun sejalan
dengan cita-citanya. Dulu, bangsa kita itu mencintai politisinya. Soekarno,
Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, itu semua adalah nama-nama politisi. Dia punya
ambisi untuk mengembalikan Indonesia ke masa itu. Pengen lebih banyak orang
baik dalam dunia politik dan menjadi politisi. Orang-orang seperti Ahok,
Jokowi, Ridwan Kamil, Bu Risma, Ganjar Pranowo adalah contoh tren positif pada
masa kini kita mulai kembali mencintai dan mengagumi politisi kita.
Saya
pernah dengar Pak Anies bilang, ”Kebanyakan orang-orang baik hanya mau bayar
pajak saja. Lah tapi kalau tidak ada orang baik di politik, lah terus masa uang
pajak kita mau kita relakan dikelola orang jahat?”
Makanya
ketika dia ditawari kesempatan baik, dia ambil karena sesuai dengan ambisinya.
Menambah terus orang baik di dalam dunia politik Indonesia.
Menurut
saya, ada hal baik dan tentunya buruk dari pencalonan Pak Anies jadi Gubernur
ini.
Hal
paling baiknya menurut saya adalah dengan munculnya Pak Anies ini (dan Agus
tentunya) adalah Ahok – Anies – Agus ini menggeser nama-nama seperti Yusril
Ihza, Lulung, bahkan Ahmad Dhani dan Hasnaeni Moein keluar dari bursa
pencalonan Gubernur. Waktu berita isinya Yusril, Lulung sampai Ahmad Dhani mau
jadi calon Gubernur, jujur saya geleng-geleng kepala mikir Jakarta kok suram
begini.
Saya
lebih senang, pertarungan jabatan-jabatan penting, dilakukan oleh orang-orang
baik aja. Biar yang lain cuma bisa menonton. Coba dilihat, ketiga calon Gubernur
yang sekarang bukan orang partai lho. Ahok udah bukan. Anies bukan. Apalagi
Agus. Sehingga, konstelasinya jadi menarik : Ahok yang seorang praktisi, Anies
yang seorang akademisi, dan Agus yang seorang militer.
Saya
sering heran dengan perkataan orang yang bilang, “Sayang banget, orang baik
diadu sama orang baik,” yah mendingan dalam semua kesempatan untuk merebut
jabatan-jabatan penting negara diperebutkan oleh orang-orang baik aja. Bayangin
deh, kalo stiap kesempatan menjabat menjadi pejabat publik itu diisi sama
orang-orang yang baik dan juga keren, kan Indonesia jadi keren pula. Selama
ini, orang-orang yang kampret ikut pencalonan karena yang baik-baik pada kaga
mau.
Bayangin
deh, kalo yang kampret ini ngga bisa dapat peluang buat mencalonkan diri. Pada
akhirnya mereka cuma bisa berharap dan hanya numpang nama baik orang lain.
Ngomongin
tentang numpang nama baik orang lain, itu ada di semua calon Gubernur kok. Ngga
terkecuali.
Ahok,
ditumpangi PDIP yang ketuanya ibu-ibu moody-an
yang udah ngacak konstelasi politik Indonesia. Ada Hanura yang dipimpin Wiranto
(punya keterkaitan dengan sebuah kasus HAM), Nasdem yang punya Surya Paloh, dan
Golkar tentunya yang sekarang dipimpin Setya Novano dan sejarah sebagai partai
paling besar efeknya terhadap busuknya politik sejak era Soeharto menjabat
selama 32 tahun.
Anies,
ditumpangi Gerindra yang punya Prabowo dengan kasus HAM yang ngga kelar-kelar
dan Fadli Zon si tukang blunder serta PKS yang ada… PKSnya.
Lalu Agus
yang ditumpangi Demokrat yang dipimpin bapaknya sendiri yang selama jadi
presiden mengeluarkan empat album tapi pas nganggur malah sibuk ramein politik.
Ada PAN yang dipertanyakan ideologinya dan hampir mirip dengan manajemen artis.
PPP yang kadernya ketika jadi Menteri Agama terbukti korupsi dana
penyelenggaraan haji. Dan PKB yang ssejarah buruknya terlihat paling sedikit disbanding
yang lain, ada tapi ngga semegah yang lain, mungkin karena memang ngga pernah
dapat kesempatan yang lebih besar aja.
Sebenarnya,
masing-masing calon Gubernur itu, bawaan buruknya sama aja.
Saya
kurang peduli dengan yang dibawa calon lain. Tapi Pak Anies ini nih. Punya
bawaaan banyak sekali nama yang menyebalkan. Dan dia butuh teman-temannya.
Kalau teman-temannya malah pergi, yang tersisa hanyalah dia, PKS, Gerindra dan
Sandiaga.
Itu
adalah hal yang cukup berbahaya. Teman-temannya harus sedekat mungkin dengan
Pak Anies buat ngehadapin Gerindra dan PKS ini yang menurut saya seringkali
berbuat blunder yang terasa menyebalkan. Contoh yang paling baru adalah ketika
deklarasi pencalonan Anies-Sandiaga kemarin. Ada sesi pembacaan sebuah teks
yang dianggap puisi oleh Fadli Zon yang membuat pertarungan Gubernur ini
seperti perang agama. Kalau liat muka Pak Anies waktu Fadli Zon baca teks itu
seolah-olah bilang, “Ini orang ngapain sih..”
‘Puisi’
Fadli Zon itu memperlihatkan bahwa dia ngga jauh beda dengan para alay fans
klub bola yang kalo mendukung sebuah klub harus mencela dan merendahkan klub
lain. Sementara saya dan mungkin beberapa orang lain sudah dewasa, kita bisa
mendukung sesuatu tanpa harus membenci yang lain. Coba dipikir, kenapa ada
barisan, “Asal bukan Madrid” atau “Asal bukan MU”? Karena umumnya fans Madrid
ataupun MU itu nyebelin, kerjanya ngetawain dan ngejelekin klub lain
mentang-mentang prestasi bagus. Sama halnya bisa terjadi terhadap kampanye
Anies-Sandiaga nanti kalau Fadli Zon, Gerindra, dan PKS dalam kampanyenya
merendahkan Ahok ataupun Agus (mostly,
Ahok). Kalau Gerindra dan PKS mau menang, jangan bikin orang hilang selera
orang gara-gara lihat kampanyenya yang menghina ras dan agama serta ngejatuhin
orang lain. Gerindra dan PKS harus belajar itu terlebih dahulu.
Harusnya
jadiin pemilihan Gubernur ini sebagai pertarungan adu gagasan, bukan ras dan
agama. Ini buka pertarungan antara orang Arab vs Cina vs Jawa. Pemikiran jaman jebot
banget sumpah. Ini udah tahun 2016, bro! Ini pertarungan antara orang yang
kelihatan punya kinerja bagus, orang yang punya orientasi pendidikan, dan orang
yang berprestasi mentereng di dunia militer.
Menurut
saya, Ahok itu keren kok. Dia Gubernur yang sulit dipungkiri kinerjanya. Yang
lebih keren dari Ahok adalah, kampanyenya bertumpu pada kinerja dan kebijakan.
Memang sudah seharusnya begitu kalau kampanye. Minggu lalu saya ke Jakarta dan
saya lihat dengan mata kepala saya sendiri banyak kali yang udah bersih dan di
beberapa kali ada ekskavator yang lagi kerja.
Begini
deh, kalau ngebersihin kali itu gampang, kenapa Gubernur yang dulu-dulu ngga
ada yang melakukannya?
Dia juga
terkenal galak terhadap bawahannya yang kerjanya ngga becus. Udah banyak
contohnya.
Nah,
pertanyaannya adalah, kalau saya percaya Ahok kerjanya bener, terus kenapa saya
cenderung milih Pak Anies? Karena saya percaya, kita bisa menggapai hal-hal baik
di Jakarta dengan cara yang lebih baik.
Menurut
saya, satu-satunya kekurangan Ahok adalah caranya dalam mimpin Jakarta ini.
Apalagi masalah mulutnya. Mulutnya itu seringkali jadi petaka untuk dirinya
sendiri. Mulutnya itu membuat orang-orang di sekitarnya jadi sulit buat
ngebelain dia. Bahkan mulutnya itu bisa membuat orang-orang baik jadi benci
sama dia. Saya ngga mempermasalahkan posisinya dalam masalah pelik seperti
reklamasi Jakarta dan penggusuran penduduk. Siapapun gubernurnya, bakal
menginjak lumpur yang sulit seperti tadi. Tapi, cara Ahok dalam membawa dirinya
di hadapan publik itu yang ngga pas buat saya.
Saya tahu
ini masalah selera, teman-teman saya ada juga yang lebih suka cara Ahok yang
apa adanya daripada yang sok santun. Masalahnya, saya punya keresahan yang lain
yakni masalah paling besar dari Indonesia ini, persatuan.
Ahok,
bakal kesulitan menjadi jembatan yang menyatukan bangsa ini dan menurut saya
yang paling pas adalah Anies Baswedan.
Indonesia
butuh sosok seperti Mandela. Saya ngga bilang Anies sama dengan Mandela. Yang
saya bilang adalah kita butuh orang seperti Mandela. Yang sampai ditinggalkan
kawan-kawannya sendiri karena memutuskan untuk berdamai dan mengajak kerjasama
orang-orang yang dulu menyiksa dia dan kaumnya. Karena dia tahu yang dibutuhin
negaranya adalah persatuan dan karena dia tahu persatuan lah yang akan membuat
pembangunan lebih progresif.
Let me explain. Ini contoh aja ya. No offense.
Misalkan,
anda benci sebuah kelompok yang udah berbuat jahat terhadap anda. Tahu ngga
kenapa anda ngga pernah bisa menghilangkan rasa benci tersebut? Karena bagaimanapun
anda benci dengan mereka, sbagaimanapun anda merasa mereka jahat, mereka ngga
akan pernah bisa hilang. Kenapa? Karena di dalam kepala mereka itu mereka tidak
merasa kalau mereka itu jahat. Mereka merasa, merekalah orang baiknya. Setiap kali
anda menentang mereka, tentangan anda itu malah jadi bensin buat membakar
perjuangan mereka dan mereka akan semakin yakin kalau mereka ada di jalan yang
benar.
Dan
umumnya, ketika anda benci terhadap seseorang atau kelompok, anda akan
menghindari dialog dengan mereka, sehingga anda ngga akan pernah bisa memahami
mereka. Padahal menurut saya, mencoba memahami sebelum membenci itu baik.
Karena setiap kali anda mencoba memahami, at the end, anda tidak lagi membenci.
Karena semua yang anda anggap ngga sejalan dengan apa yang anda pegang,
akhirnya anda mendorong mereka jauh-jauh. Kalau begitu terus, kapan mau
bersatu?
Mungkin
pernyataan anda adalah, “Saya ngga mau bersatu dengan orang jahat,” tapi
masalahnya, semua orang itu tidak pernah merasa dirinya jahat. Mungkin termasuk
Prabowo ketika dia mengaku menculik mahasiswa. Beliau pasti merasa bahwa hal
itu adalah hal yang paling benar untuk dilakukan demi bangsa dan negara. Saya
tahu ini agak sulit dimengerti, karena mungkin anda memutuskan untuk tidak mau
memahami.
Itulah
prinsip yang harusnya diterapkan di Indonesia.
Itulah
mengapa Indonesia butuh sebuah jembatan, dan jembatan itu yang paling cocok
menurut saya adalah Pak Anies. Selain itu, menurut saya punya pemimpin seorang
pendidik dan berorientasi pada pendidikan itu ideal. Bung Hatta pernah menulis,
“Pemimpin adalah pendidik dan pendidik adalah pemimpin.”.
Kalau
ditanya mengenai kecakapannya apa? Jadi menteri kemarin aja dipecat. Memangnya
apa prestasinya pas jadi Mendikbud?
Yang saya
tahu, ya. Pertama, dia membatalkan UN sebagai syarat kelulusan. Ini adalah
sesuatu yang udah lama banget diperjuangkan sama aktivis pendidikan dan
akhirnya tercapai pada masa Pak Anies. Kedua, menunda kurikulum 2013 kepada
mayoritas sekolah dan hanya menerapkannya pada beberapa sekolah sebagai
percontohan. Ketiga, menjadi menteri pertama yang melarang adanya perploncoan
dan MOS di sekolah. Dalam surat edarannya, guru yang membiarkan bakal dapat
hukuman. Dulu, ngga ada keterlibatan kementerian dalam masalah ini. Tahu tapi
ngga bersikap, dan sekarang secara umum prakteknya udah berhenti.
Kemudian,
jika kerjanya bagus, kenapa dia dipecat? Ada beberapa versi. Pertama, Pak Anies
ini keliatan banget ambisinya mau jadi Presiden. Konon, kalau dia lagi
kunjungan kerja seems like lagi kampanye. Yang menarik adalah ketika dia
menggagas gerakan orangtua mengantar anak pada hari pertama sekolah. Gerakan
ini akhirnya berdampak di lintas kementerian yang pada awalnya ngga ngeizinin
pegawainya mengantar anak ke sekolah, tiba-tiba mengeluarkan surat keputusan
memberi izin untuk mengantar anak ke sekolah. Ini lintas kementerian dan ngga
ada koordinasi sama Presiden.
Kedua,
karena jatah Menteri Pendidikan selalu jadi jatahnya Muhammadiyah. Kalau
diperhatikan, dari tahun ke tahun selalu begitu dan yang ngegantiin Pak Anies
ya memang dari Muhammadiyah. Memang Muhammadiyah punya kepedulian tinggi
terhadap pendidikan, seperti SMA dan universitas yang sudah mereka dirikan dan
jalankan. Mungkin Jokowi lelah diteriakin terus.
Ketiga,
kerjanya ya memang jelek. Masalah yang sering muncul salah satunya adalah soal
KIP (Kartu Indonesia Pintar) yang terhambat. Keempat, gara-gara waktu itu,
Jokowi mengeluarkan instruksi buat menterinya ngga melakukan kunjungan kerja
keluar Jakarta selama empat hari karena akan dilakukan sidang kabinet
paripurna, dan Pak Anies ‘keluyuran’ ke Pangkep, Sulawesi Selatan buat hadir di
Jumbara Nasional PMR.
Dan masih
banyak versi yang ngga saya paham.
Kesimpulannya.
Pertama, jika saya ditanya, “Kalau jadi warga Jakarta, mau milih siapa?” ya
saya akan jawab akan milih Anies Baswedan. Kedua, saya ngga akan menghina atau
menjelekkan kandidat lain terutama Ahok. Karena saya memang suka dengan kinerja
dan prestasinya. Yang saya ngga suka dari Ahok adalah caranya memimpin Jakarta
yang saya yakin ngga bakal bisa jadi pemersatu.
Tahu
tidak apa artinya orang merdeka? Orang bisa disebut merdeka karena punya
pilihan. Jangan dihilangkan pilihannya, tapi sediakanlah yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar