Dia pun melanjutkan kisahnya.
“Sang penempa itu mempersiapkan segala sesuatunya. Setidaknya, segala sesuatu yang akan dibawanya selama menjadi manusia Phoenix abadi,”
“Tidak abadi, hanya 500 tahun,” selaku.
“Oh, maaf. Tapi, anda tahu sebagai manusia biasa hidup selama 500 tahun itu terhitung abadi,” jawab kakek tua itu. Aku baru menyadari bahwa pakaian yang dipakainya sangat terlihat tua. Bahkan, pakaiannya tersebut tidak kelihatan modis di era 50’an. Ya, aku pernah melihat sebuah majalah fashion lama di toko buku loak sekitar 5 blok dari sini. Di majalah itu memperlihatkan baju yang trend di era 50’an. Dan, pakaiannya ini sungguh sangat tua. “Bolehkah saya melanjutkan?” tanyanya dan aku mempersilahkan.
“Sang penempa pun pergi mengelilingi belahan dunia ini untuk mencari benda kecil itu. Sangat lama ia mencarinya. Anda pun tahu untuk mencari benda sekecil itu di seluruh dunia ini bagaikan mencari satu jarum di timbunan jerami. Sampai akhirnya, tepat 18 tahun lalu, aku menemukan sesuatu petunjuk tentang permata tersebut,”.
Aku yang sedang meminum kopiku tersedak mendengar satu kata yang diucapkannya, “Tunggu sebentar, anda berkata ‘aku’?” tanyaku.
Dia tersenyum, “Ya, akulah sang penempa tersebut. Berikan tanganmu,”.
“Tidak mungkin, anda hanya mencoba menarik perrhatianku dengan ceritamu itu,” aku berusaha bangkit dan pergi. Ketika aku baru melangkah dua kali dari tempat dudukku, dia menahan kakiku dengan keras.
“Ini tentang Sekar,” dia berkata. Aku melihatnya. Dia terlihat serius. Aku berbalik dan duduk kembali.
“Apa maksud semua ini? Dan bagaimana anda tahu tentang Sekar?”
“Inilah alasan kenapa aku bercerita padamu. Karena anda satu-satunya yang bisa melindunginya,” ujarnya.
“Tapi, kenapa saya? Bukannya di dekatnya ada Putra? Dia bisa melindungi Sekar, dan juga Sekar itu beribu-ribu kilometer dari sini,” bantahku.
“Akan kutunjukkan. Berikan tanganmu,” dia mengulurkan tangan kirinya dan aku meletakkan tanganku diatas telapak tangannya. Lalu, disekitar kami berubah menjadi putih. Seputih susu. Tiba-tiba di sekeliling kami berubah menjadi suasana rumah sakit. Aku duduk di depan sebuah pintu bersama kakek itu. Ada kaca berbentuk persegi di pintu tersebut.
“Tengoklah ke dalam,” perintah kakek itu padaku. Aku berdiri dan menuju pintu tersebut dan melihat ke dalam lewat jendela tersebut dengan perasaan yang bingung.
Aku melihat sebuah proses kelahiran. Kelahiran sebuah bayi perempuan. Namun, ada yang tidak beres. Bayi itu seperti tidak bernyawa. Tidak seperti bayi-bayi seperti biasanya, yang menangis ketika dilahirkan. Tetapi, bayi itu hanya diam. Tanpa suara.
“Pada hari ini, tepat 19 tahun yang lalu, bayi itu terlahir dengan keadaan yang tidak cukup baik. Ia lahir dengan jantungnya yang lemah. Aku tidak tau kenapa insting Phoenix yang ada di dalam diriku itu menarikku kesini. Aku masih bingung melihat kejadian itu sampai bayi itu dibawa ke sebuah tabung yang tidak aku tahu apa fungsinya,” aku mendengar penjelasannya sambil melihat bayi itu dibawa ke sebuah tabung. Kalau tidak salah, tabung itu gunanya untuk menguatkan sang bayi kalau terjadi apa-apa. Entahlah, aku tidak mendalami hal itu, aku hanya melihat ada seorang bapak yang sepertinya tidak terlalu asing buatku. Dia terlihat cemas. Kupikir, dia adalah bapak dari bayi itu. Aku juga sudah tidak mendengar suara dari si kakek itu. Mungkin ia ingin aku melihat sendiri apa yang ingin ia perlihatkan.
Ketika di dalam tabung itu, tiba-tiba seberkas cahaya turun dari sebuah batu kecil yang berwarna mencolok. Ungu. Aku kaget melihat itu. Cahaya itu masuk ke dalam tubuh sang bayi itu. Seketika, bayi itu bercahaya dan menyilaukan pandanganku, sampai aku sempat menutup mataku untuk menghindari silaunya cahaya itu. Setelah cahaya itu menghilang, si bayi itu menangis dengan keras. Diikuti oleh tangis haru oleh si bapak yang aku lihat tadi dan berteriak memanggil dokter.
Ternyata, sang kakek itu sudah berdiri di sampingku dan memegang pundakku, “Makanya, ia oleh bapaknya dinamakan Nurul Sekar Zhafira. Karena, ia bercahaya ketika dia hampir meninggal di hari kelahirannya. Permata itu tertanam dalam dirinya. Tertanam dalam jantungnya. Permata itu yang menguatkan jantungnya, sampai dia bisa hidup hingga sekarang,” si kakek itu menjelaskan.
Aku baru paham itu adalah Sekar. Aku melihat arlojiku yang menunjukkan angka yang sama di kolom bulan dan tanggal. Sepuluh. Aku baru sadar hari ini, hari ulang tahun Sekar yang ke sembilan belas. Dan, yang baru kuketahui bahwa Sekar sempat memiliki kelainan seperti itu. Yah, tertutup dengan kelakuan aktifnya, sih. Aktif ketika masih kuliah bersama sebelum akhirnya aku pindah ke London tahun lalu. Aktif ketika membawa motornya yang dilengkapi dengan helm berwarna merah dan hitam bercorak seperti kulit harimau, seolah mewakilkan sifatnya yang sedikit garang dan kadang memukul orang lain kalau sedang kesal. Termasuk aku. Tidak kusangka dia pernah memiliki kelainan seperti itu, atau mungkin masih.
Si kakek itu mengembalikan suasana di sekitar kami kembali menjadi suasana di kafe sebelumnya. Namun, sekarang berbeda sudah tidak ada orang lagi di dalam kafe, bahkan sang barista dan pelayannya tak kelihatan. Hanya kami berdua.
“Untuk alasan itulah, mengapa aku membicarakan hal itu denganmu, aku ingin memintamu untuk melindunginya,” sang kakek itu berkata padaku. Masih terbayang apa yang kulihat tadi. Sekar.
“Saya masih bingung dengan semua ini, kenapa saya? Melindungi dia dari apa?”
“Kau ada bakat seorang Phoenix. Bakat yang sangat langka. Apabila aku mentransfer kekuatanku ini padamu nanti, kau takkan merasakan sakit dan terbakar sepertiku hampir 500 tahun yang lalu,” suaranya tercekat sesaat dan ia terbatuk-batuk.
“Anda tidak apa-apa?” tanyaku.
“Tak apa. Kau harus melindunginya dari penyihir angin hitam. Dia menginginkan permata itu untuk menguasai dunia dan menantang para dewa. Dengan permata itu di tangannya, dia bisa melakukan apa saja. Bahkan, untuk menghancurkan dunia ini, ia sanggup,” ucapnya dengan muka memerah seperti menahan amarah.
“Dia juga sama sulitnya menemukan batu permata itu. Sama sepertiku. Bahkan dia dibantu oleh bawahan-bawahannya yang setia. Dia juga menyadari bahwa permata itu masuk ke dalam jantung Sekar. Dia berencana mengambil permata itu pada saat permata itu memancarkan kekuatan terkuatnya,” tambahnya.
“Kapan itu?”
“Tepat dua puluh tahun setelah permata itu masuk ke dalam jantung Sekar,”
“Itu berarti…,”
“Ya, setahun dari sekarang, permata itu akan menjadi waktu yang tepat untuk diambil oleh penyihir itu,”
“Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk melindunginya?”
“Akan kutransfer kekuatan Phoenix yang ada di dalam diriku padamu, dan aku akan melatihmu untuk menggunakan kekuatan itu,” dia menatapku dengan serius.
“Melatihku? Kau tidak akan memudar ketika mentransfer kekuatan itu?”
“Tidak. Batasku masih bisa sampai setahun kedepan. Dalam waktu setahun itu, aku akan melatihmu dengan keras,”
Dahiku mengerut masih tidak percaya, “So, bagaimana kau akan mentransfer kekuatan itu padaku? Kau tidak akan menciumku, kan?”
Dia tertawa kecil, “Hidupku selama hampir 500 tahun lebih ini takkan mengubah kekagumanku pada wanita. Aku masih normal,” dia lalu menggeleng, “Angkat kedua tinjumu, satukan dengan tinjuku,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya di hadapanku. Aku pun mengangkat kedua tinjuku.
Kekuatannya pun mulai bertransfer. Selubung api yang awalnya keluar dan menyelimuti si kakek berpindah menuju padaku melewati kedua tinju kami dan berpindah padaku. Awalnya selubung api hanya berputar mengitari seluruh tubuhku, namun tiba-tiba api itu menyeruak masuk ke dalam tubuhku dari seluruh penjuru tubuhku. Masuk melewati pori-pori kulit tubuhku. Api itu bergerak masuk menuju ke satu arah. Jantungku. Api itu telah menyegel diriku. Tanda segel  berwarna hitam pun tergores dengan indah di lengan kanan atasku.
Namun, anehnya aku tidak merasakan sakit sama sekali seperti yang diceritakan oleh kakek itu atau yang lebih tepatnya yang dirasakan oleh kakek itu kala ia menerima kekuatan ini.
Setelah transfer kekuatan itu selesai, sang kakek hanya tersenyum tipis.
“Pilihanku memang tepat, lambang burung Phoenix yang sesungguhnya ada di tanganmu itu mencirikan bahwa kau adalah orang yang tepat untuk mendapatkan kekuatan ini,” ujar kakek itu.
“Mengapa begitu?” tanyaku.
“Kekuatan Phoenix ini tidak akan menyakiti manusia yang tepat. Manusia Phoenix. Pewaris darah burung Phoenix, ini berarti di dalam pembuluh darahmu terdapat darah Phoenix,” jelas si kakek dan aku hanya mengangguk tanda paham alasan tersebut.
Aku memperhatikan tubuhku, tidak ada yang jauh berbeda dari sebelumnya. Tapi, aku merasakan hawa panas membara di dalam tubuhku. Aku merasa seperti Manusia Api dalam Fantastic Four. Tapi, aku berbeda
Aku adalah titisan burung Phoenix. Adrian Adrisam Reynand adalah seorang manusia Phoenix. Aku berteriak dalam hati dan masih dalam keadaan tidak percaya dengan semua ini.
“Lalu, apakah aku akan hidup abadi selama lima ratus tahun sepertimu?” tanyaku.
“Entahlah. Karena dalam hal ini, kau adalah manusia Phoenix yang sebenarnya, mungkin kau akan hidup abadi lebih dari lima ratus tahun bahkan mungkin selamanya,” jawabnya seraya mengusap jenggot putihnya yang memanjang sesaat setelah pemindahan kekuatan itu. “Namun, ada satu hal yang bisa membunuhmu dan mati begitu saja,” tambahnya.
Aku terkejut, “Apa itu?” aku bertanya padanya.
“Jangan pernah biarkan seseorang atau apapun menusuk jantungmu. Tepat di bagian segel api itu bernaung. Itu satu-satunya cara memutus keabadian dari Phoenix,” ujarnya dengan wajah serius.
Aku menelan ludah mendengar jawabannya itu. “Tapi, kau akan melatihku, kan?”
“Lebih tepatnya oleh dua orang lain yang juga memiliki kekuatan mengagumkan sama sepertimu. Titisan Naga Kuning, Huang Long dan titisan makhluk terganas samudra, Leviathan. Bergurulah pada mereka masing-masing 5 bulan. Merekalah yang akan melatihmu,” ujar si Kakek.
“Dimana aku bisa menemukan mereka berdua?”
“Entahlah, insting Phoenix mu itu yang akan menuntunmu ke mereka. Kuberitahu, elemen Huang Long adalah tanah dan Leviathan adalah air. Gunakanlah petunjuk itu,”
“Tunggu sebentar, kenapa tidak ada elemen angin?”
“Itu adalah elemen yang digunakan oleh sang penyihir,” jawab singkat si kakek. “Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu. Ingat, gunakan sebaik-baiknya kekuatanmu itu, berlatihlah dengan sungguh-sungguh pada mereka, selamatkan aku dan wanita itu dari dunia bawah, dan juga selamatkan Sekar,” tambahnya.
“Tunggu, kau akan pergi sekarang? Bukannya kau bilang kau masih ada waktu setahun lagi?” tanyaku dengan heran.
Kakek itu tersenyum kecil, ”Aku bohong padamu. Supaya kau mau menerima kekuatan itu,” katanya.
Lalu, ia melambaikan tangannya padaku, dan seluruh tubuhnya berubah menjadi arang api kemudian retak menjadi abu dan terhisap ke dalam tanah.
Aku masih dengan tatapan tidak menyangka dengan menghilangnya kakek itu, tiba-tiba aku dicolek sesuatu.
“Pak, mohon maaf, kedai ini akan tutup. Mohon bapak silahkan keluar dan membayar billnya,” seorang pelayan berkata padaku dengan aksen Inggris yang kental. Aku sepertinya tertidur tadi. Seisi kedai itu sudah kosong. Jangan-jangan tadi hanya mimpi?
Aku menggulung lengan baju kananku, ternyata lambang segel itu ada.
“Wah, tato yang bagus, pak. Tapi, mohon anda cepat karena kedai ini akan tutup,”
Aku menggulung balik lengan bajuku dan tersenyum kecil pada pelayan itu dan mengeluarkan beberapa pounds di meja sesuai bill. Lalu, beranjak pergi dari kedai tersebut.
Sepertinya, aku harus memesan tiket pesawat ke Indonesia dalam waktu dekat ini. 

Bersambung...

Hati Sang Phoenix (2)

by on 2/22/2015 08:03:00 PM
Dia pun melanjutkan kisahnya. “Sang penempa itu mempersiapkan segala sesuatunya. Setidaknya, segala sesuatu yang akan dibawanya sela...


     Aku sedang duduk sendirian di sebuah kafe bernama Prufrock Coffee yang berada di pusat kota London, menikmati malam akhir pekan setelah seminggu penuh melakukan penelitian bidang mekanika kuantum di laboratorium yang ada di London. Setelah berjuang keras melakukannya tidak ada salahnya, kan untuk beristirahat sejenak dengan kesendirian. Memang di akhir pekan ini, Jane, salah seorang temanku selama di London mengajakku untuk menghabiskan malam akhir pekan di salah satu bar yang sedang mengadakan weekend party. Tapi, langsung kutolak dengan halus karena pasti akan berhubungan minuman beralkohol. Selain itu, aku lebih ingin menghabiskan malam ini sendirian.
    Sebenarnya, ada niatanku untuk mengunjungi salah seorang kenalanku yang berada di Manchester. Namun, kuurungkan niatanku itu karena pasti dia akan mengajakku untuk menonton Derby Manchester di Old Trafford besoknya. Aku tidak tertarik kepada dua klub tersebut. I prefer to watch Real Madrid in Santiago Bernabeu Stadium. Tapi, itu sangat jauh dari sini.
    Ya, sendiri. Hanya ditemani oleh segelas penuh kopi espresso berharga 2.20 pounds. Namun, kesendirianku ini terusik karena seorang kakek tua datang kepadaku membawa segelas kopi. Dari aromanya, aku menaksir itu adalah kopi Americano.
    “Bolehkah saya duduk disini? Kelihatannya anda sedang sendiri,” kakek itu berkata. Aku mengira-ngira dia berumur sekitar 60 tahun, dengan kemeja bermotif kotak biru garis putih dipadu dengan celana hitam dan juga topi khas koboi.
    “Tentu saja, silahkan,” aku mempersilahkan dia duduk dan disambut dengan anggukan halus olehnya. Dia pun duduk di depanku dan melepaskan topi nya. Ada keheningan sesaat diantara kami sampai ketika ia menyeruput kopinya yang masih mengepulkan uap panas dan bertanya kepadaku.
    “Anda tahu burung Phoenix, tuan?”
    Aku sedikit terkejut ketika ia menanyakan itu.
    “Ya, saya pernah mendengar makhluk mitologi itu,” jawabku.
    “Mungkin setelah anda mendengar cerita saya ini, anda akan berpikir dua kali bahwa Phoenix adalah mitos belaka. Percayalah, burung itu bukanlah sebuah mitos.”
    Aku terdiam sejenak. Lalu, menaruh minat untuk mendengarkan ceritanya tersebut. “Silahkan, tuan. Saya ingin mendengarkan cerita itu.”
    Dia pun mulai berkisah.
***
    Alkisah, di sebuah tempat yang tidak diketahui nama dan lokasinya, hiduplah seorang laki-laki penempa pedang yang hidup dengan damai bersama istrinya. Mereka belum memiliki seorang anak dari pernikahan mereka yang sudah menginjak satu dekade.
    Tempat mereka tinggalpun hanyalah sebuah gubuk besar yang dilengkapi tempat sang laki-laki menempa pedang-pedang buatannya. Walaupun mereka hidup sederhana dan jauh dari kata berkecukupan, mereka hidup dengan tenang, meski mereka kekurangan sesuatu yang sangat berharga bagi mereka. Anak. Sampai suatu ketika, istrinya meninggal dunia karena sakit keras yang diidapnya. Sang penempa sangat sedih ditinggalkan orang yang sangat dicintainya.
    Suatu hari, sang penempa tersebut sedang mengerjakan pedang seperti biasanya, sampai suatu ketika dia terkena panasnya api yang digunakannya untuk memanaskan pedang buatannya. Api tersebut menjalar ke tangannya sehingga menyebabkan tangan sang penempa tersebut  mengalami luka bakar yang sangat serius. Tangannya menjadi mati rasa dan tidak bisa digerakkan. Tidak ada yang bisa menolongnya saat itu.
    Dia menjerit kesakitan, menahan sakit yang ada di tangannya. Sampai akhirnya, datang seorang perempuan cantik jelita, bergaun warna merah darah. Wanita itu datang menghampiri sang penempa dan memegang tangannya yang terluka. Lalu, wanita itu menitikkan beberapa tetes air matanya diatas luka tersebut, dan secara ajaib luka bakar tersebut tertutupi oleh regenerasi kulitnya sendiri, dan sembuh seperti sedia kala.
    Sang penempa yang terheran-heran dengan apa yang dilihatnya, langsung bertanya kepada wanita itu.
    “Terima kasih, wahai wanita yang cantik. Kau telah menyembuhkanku dengan air matamu itu. Siapakah dirimu?”
    “Aku adalah Phoenix.”
    “Phoenix?” sang penempa heran dengan jawaban wanita tersebut. “Apa maksudmu?”
    “Ya, aku adalah Phoenix. Sebenarnya, aku adalah manusia biasa sama sepertimu. Namun, aku diberikan kekuatan khusus oleh para dewa, yakni menjadi penjelmaan seekor burung api abadi, Phoenix. Aku ditugaskan khusus untuk mencari permata ungu milik para dewa yang hilang.”
    “Permata ungu? Benda apa itu?”
    “Permata itu adalah benda milik para dewa yang berguna untuk menjaga keseimbangan dunia ini.”
    Sang penempa masih terheran dengan penjelasan wanita itu. Penjelasan yang menurutnya sangat tidak masuk di akal sehatnya.
    “Lalu, kau sudah menemukan permata tersebut?”
    Wanita itu menunduk. “Belum. Dan batasnya adalah hari ini ketika matahari terbenam,” ketika wanita tersebut berkata seperti itu, langit sudah berwarna jingga menyala tanda matahari akan tenggelam. “Aku akan dihukum dijatuhkan ke dunia bawah selamanya, jika tidak bisa mendapatkan permata itu.” Dunia bawah adalah neraka.
    “Lalu, apa yang bisa kubantu?” tanya sang penempa.
    “Lanjutkan pencarianku. Kau bisa mengeluarkanku dari dunia bawah jika kau bisa menemukan permata itu,” ujar sang wanita.
    “Bagaimana caranya? Aku tidak tahu-menahu masalah permata itu,”
    “Aku akan memberikan kekuatan Phoenix ku. Kekuatan itu akan membantumu untuk menemukan permata itu. Aku tidak bisa menemukannya, karena sangat sulit mendeteksinya,”.
    “Bagaimana caranya kau membagi kekuatanmu itu?”
    Tiba-tiba, wanita itu langsung mencium sang penempa. Sesaat kemudian, api keluar dari tubuh sang wanita dan menyeruak masuk ke dalam tubuh sang penempa. Sang penempa seperti terbakar namun tidak hangus. Di punggungnya pun muncul sepasang sayap yang menyala karena  api yang menyelimutinya. Wanita itu pun melepaskan sang penempa dan melihat api masih membakar tubuh sang penempa, dan lambat laun bergerak masuk ke dalam tubuh sang penempa. Sepasang sayapnya pun bergerak masuk ke dalam punggungnya. Sang penempa itu pun terduduk dengan nafas tersengal-sengal. Peluh keringatnya keluar. Dia masih merasa terbakar, namun rasanya terbakar dari dalam.
    “Apa akan selalu terasa sakit begini?” tanya sang penempa sambil memegang dadanya.
    “Memang awalnya masih terasa sakit, lama-kelamaan juga akan hilang sakitnya, api itu akan menuju ke jantungmu, dan akan menjadi segelmu. Segel itu akan menjadi tanda bahwa kau akan dijatuhkan ke neraka setelah 500 tahun dari segel itu terpasang. Sama seperti aku,” ujar sang wanita sembari dia memperlihatkan tanda segelnya yang berada di punggung lehernya.
    Sesaat kemudian, muncul tanda segel yang berwarna hitam di pundak kirinya. Sejenak, tanda segel itu menyala dan redup kembali menjadi hitam gelap.
    “Tanda itu akan hilang dan juga kau akan terbebas dari dunia bawah ketika permata itu kembali ke tangan para dewa. Jadi, kumohon. Selamatkan aku,” ujar sang wanita memohon kepada sang penempa. “Temukan permata itu sebelum para bawahan penyihir hitam mendapatkannya terlebih dahulu,” tambahnya. Tubuh sang wanita itu mulai memudar.
    “Aku akan mencobanya,” ujar sang penempa. “Akan kucoba menemukan permata ungu tersebut. Akan kubebaskan kau dari dunia bawah. Aku berjanji,” sang penempa memegang tangan wanita tersebut. Wanita itu pun lenyap bagai ditelan matahari tenggelam.
    Wanita itu pun tenggelam ke dunia bawah. Tempatnya menetap menunggu janji sang penempa. Di neraka.
***
    Kakek itu berhenti sejenak dan meminum kopinya. Aku mendengar cerita kakek tua itu. Masih dengan tatapan bingung. Mungkin sama dengan tatapan bingung sang penempa ketika mendengar penjelasan awal dari wanita dalam kisah tersebut.
    “Jadi, anda akan mencoba membuat saya percaya dengan kisah itu? Sejujurnya, saya bukan orang yang gampang percaya terhadap sesuatu tanpa adanya suatu bukti yang nyata,” aku meragukan apa yang dia katakan sebelumnya.
     “Kisah itu belum selesai. Sama sekali belum usai,” kakek itu menjawab. “Saya berjanji di akhir pertemuan kita ini, anda akan terkejut,” tambahnya dengan senyum  tipis.

Bersambung...

Hati Sang Phoenix (Part 1)

by on 2/07/2015 05:56:00 PM
     Aku sedang duduk sendirian di sebuah kafe bernama Prufrock Coffee yang berada di pusat kota London, menikmati malam akhir pekan s...