Terus, mari kita bicara tentang pendidikan di Indonesia. Gua sebagai yang masih menerima pendidikan di Indonesia sebenarnya ga berhak ngomong begini tapi ga ada salahnya berpendapat, right? Begini, jahatnya pendidikan di Indonesia adalah ketika setiap anak dibuat tidak yakin kalau dia berbeda dengan anak yang lain. Ki Hajar Dewantara saja zaman dulu udah pernah bilang, “Padi tidak pernah bisa jadi jagung” harusnya padi lu treat sebagai padi dan jagung lu treat sebagai jagung. Tapi masalahnya di Indonesia, pendidikan itu harus terstandarisasi. Seperti masalah pada UN. Mau bagaimanapun si murid itu belajarnya, dia harus lulus pada standar itu. Kan ga fair ya. Ilustrasinya begini, misalkan Tarzan mau pergi dari hutan ke kota karena di hutan ga ada yang bisa dia nikahin karena semuanya buluan. Nah, sebelum dia pergi, dia bilang ke seluruh penghuni hutan bahwa siapapun bisa menggantikan dia menjadi raja di hutan asalkan persyaratannya satu. Harus teriak sekeras-kerasnya agar semua penghuni hutan bisa dengar. Kalo buat gorilla atau singa itu gampang, tapi coba kalo tapir atau rusa? Kan ga bisa. Ga fair.

Lalu, Einstein pernah bilang ke gurunya bahwa dia ga setuju dengan pendidikan dengan sistem hafalan karena itu dapat mematikan kreativitas. Habis ngomong begitu, dia langsung keluar dari sekolah itu. Coba anak zaman sekarang yang ngomong begitu? Keluar juga. Lebih tepatnya dikeluarin. But Einstein was right, dear. Pendidikan ga seharusnya memaksa untuk menghafal, pendidikan itu yang penting paham dan tau bagaimana cara pengaplikasiannya. Begini deh, buat yang cinta tim sepakbola Barcelona. Kalo disuruh menyebutkan salah satu pemain legenda Barcelona pasti bisa jawab, kan? Apakah itu ada di buku pelajaran? Ngga. Tapi bagaimana mereka bisa tau? Karena mereka minat. Jadi, seharusnya gurunya itu membuat mereka minat bukan memaksa mereka buat menghafal.

Padahal kalo lu pikir-pikir lagi, apa yang lu hafal dulu belum tentu sekarang itu bener. Misalkan, pas SD lu disuruh hafal jumlah planet di tata surya kita adalah 9 planet kan? Nah sekarang berapa planet di tata surya kita? Dua belas. Karena setelah Pluto sempat dikeluarkan dari sistem planet tata surya kita, sekarang ada klasifikasi planet baru namanya dwarf planet jadi ada empat planet baru yang dimasukkan termasuk Pluto. Total ada 12. Jadi buat apa kita capek-capek ngehafal waktu itu kalo sekarang salah?

Ngomongin masalah guru, menurut gua guru yang baik adalah ketika muridnya bener ia puji, ketika salah dibenerin, dan ketika nakal dimarahin. Paham ga bedanya? Karena walaupun ga semua guru, ada beberapa guru yang marah ketika muridnya salah. Harusnya guru itu berpikir bahwa ketika si murid salah itu adalah tanggungjawabnya buat ngebenerin. Lalu ada juga guru yang gila hormat. Walaupun memang ga semua tapi ada. Kenapa mereka gila hormat? Menurut gua karena pekerjaan guru di Indonesia belum menjadi pekerjaan yang terhormat. Kenapa gua bisa bilang begitu? Kita bisa lihat dari fasilitas dan gaji yang ia dapat. Contohnya gua pernah denger ada guru di NTT yang gajinya 50 ribu per bulan atau ada seorang guru di Purwakarta harus naik perahu melintasi Waduk Jatiluhur buat ngajar di sekolahnya itu. Hal itu ga sebanding dengan apa yang mereka kasih buat murid mereka untuk mencerdaskan generasi bangsa. Di negara lain, guru merupakan pekerjaan yang paling terhormat dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.

Dan kembali ke masalah pendidikan di Indonesia ga bisa dibandingin dengan negara lain. Coba lu search negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia itu dimana. Di Finlandia. Diakui oleh 3 lembaga survei independen yang berbeda. Bahkan Obama pernah bilang ingin mengubah sistem pendidikan di Amerika menjadi seperti pendidikan di Finlandia. Dan lu tau sistem pendidikan di Finlandia itu bagaimana? Muridnya ga dikasih PR sampai SMA. Bahkan jam pelajarannya adalah yang tersedikit di dunia. Sedangkan kita di Indonesia, murid udah sekolah dari pagi sampai siang dan masih dipaksa buat les sampai sore serta masih dikasih PR pula. Kenapa di Finlandia dengan jam yang begitu sedikit bisa menjadi yang terbaik di dunia? Karena mereka ga dikasih PR dan banyak waktu untuk mengembangkan diri mereka sesuai minat mereka.

Menurut gua, bermain juga salah satu cara belajar. Kenapa? Karena bermain adalah belajar secara sukarela, iya ga sih? Menurut dokter anak, otak anak usia 5 tahun itu sedang maksimal-maksimalnya jadi biarkan mereka bermain. Misalkan, anak usia 5 tahun ngambil batu, kalo dia lempar ke kaca, dia bakal paham kalo kaca itu bakal pecah, setelah dia lempar terus dia diam, dia bakal paham kalo dia bakal dipukulin. Nanti dia pikir harusnya dia lari atau ga melempar batu itu. Kalo misalkan lu semua pelajari itu semuanya dari buku, nanti ketika di dunia profesi  bagaimana cara lu bersaing dengan orang lain kalo sama-sama yang kalian tahu itu cuma dari buku? Supaya dapat bersaing lu harus belajar di luar dari itu. Because everything in this world is a teacher, dear.

Kalo ada satu hal yang pendidikan di Indonesia berhasil adalah berhasil menciptakan generasi yang terlalu patuh. Listen. Patuh itu boleh. Kalo semuanya ga patuh, kacau nanti. Tapi kalo terlalu patuh itu bahaya. Kenapa? Kalo ga ada yang protes tentang kesalahan yang dilihat maka ga ada yang mau terciptanya perubahan. Harusnya, kita harus tampil berbeda. Namun, di sekolah diajarin bahwa beda artinya bodoh atau nakal. Akhirnya mereka tumbuh menjadi generasi yang menghindari konflik.
Masalah pendidikan lainnya adalah keharusan untuk memberikan pendidikan kepada yang harus mendapatkan pendidikan. Contohnya begini, coba pakai logika, ketika lu menyuruh orang yang ga mampu untuk milih antara pendidikan atau uang, pasti mereka akan memilih uang. Kenapa? Karena adanya kebutuhan mendesak seperti beras dan lainnya. Karena lu belanja pakai uang bukan pendidikan. Kan ga mungkin ya ketika lu belanja di pasar, lu nanya ke penjualnya,

“Berapa beras sekilo?”
“Tergantung,”
“Tergantung apa?”
“Tergantung siapakah Bapak Pendidikan di Indonesia?”

Kan ga gitu. Selain kebutuhan mendesak, uang juga dijadikan alat untuk memperlihatkan statu sosial mereka. Seperti halnya begini, orang yang kerja di rumah gua mau minjem uang ke orang tua gua dengan alasan kakaknya mau ngasih hadiah Valentine ke pacarnya tapi ga punya duit karena belum kerja. Ya sekalian aja ga usah ngasih hadiah, iya ga? Kan belum kerja. Itu sama halnya ketika ada orang minta nomor pacar temannya setelah temannya nanya buat apa dijawab pengen mesra-mesraan aja karena ga punya pacar. Ya ga usah mesra-mesraan aja sekalian. Iya ga?

After all those problems that I wrote, gua mau ngasih semacam solusi. Ada beberapa solusi yang mau ditawarin. Pertama, dan in yang paling banyak ga disukai oleh kebanyakan orang. Yakni pemahaman politik. Perlu gua jelasin bahwa kita berpolitik tapi kita ga peduli dengan politik. Maksudnya, angka keikutsertaan dalam berpolitik itu besar banget. Tapi apakah paham? Nol banget. Begini deh, coba lu flashback ketika lu ikut pemilihan caleg tahun 2014 lalu. Apakah masih ada yang ingat siapa yang lu pilih? Kebanyakan ngga. Gimana lu mau tau kalo orang itu bener dan amanah nanti ketika jadi anggota dewan kalo namanya aja lupa apalagi visi dan misinya dia. Teman gua pernah cerita bahwa ada temannya milih anggota dewan berdasarkan cakep atau ngganya foto di lembar pemilihan itu. Aneh ga? Lu sering ngomong kalo anggota dewan itu sering korup padahal mereka itu ga bakalan disana kalo bukan karena lu yang milih. Harusnya sebelum lu milih lu harus cari track record dari calon-calon tersebut. Zaman sekarang udah banyak cara dan akses untuk mencari track record mereka. Di media TV juga sering menampilkan hal-hal tersebut. But, be careful with the media. Karena banyak media sekarang yang latar belakangnya ada unsur politik. You know damn well that I’m right. Akhirnya berita-berita di media yang seharusnya menyampaikan fakta malah memberikan opini dan umumnya memakai strategi racun dan penawar begitu. Dikasih racunnya, “Pemerintahan Jokowi itu begini begitu” dan dikasih penawarnya, “Harusnya milih yang begini  begitu”. Misalkan, “Kebakaran lahan di Sumatera akibat kegagalan pemerintahan Jokowi”. Lah apa hubungannya. Harusnya media ngasih tahu kalo ada kebakaran lahan di Sumatera. Cukup sampai disitu faktanya.
Yang paling penting, kita harus tahu bagaimana membedakan fakta dan opini. Cara membedakannya gampang kok. Untuk yang tau gua, gua bilang,”Gua langsing atau ga?” Bakal ada yang bilang ya ataupun ngga. Itu adalah opini. Faktanya berat gua pernah nembus 105 kg dan berat gua sekarang 100 kg jadi menurut gua, gua langsingan. Tapi menurut lu yang beratnya ga pernah lewat dari 70 kg, lu bakalan bilang kalo gua gemuk. Tapi, apakah yang gua bilang ini pasti benar? Belum tentu. Cara memastikannya dengan mencari dari sumber lain. Jangan Cuma dari satu sumber saja. Itu baru menggunakan demokrasi yang bener. Ga cuma banyak omong.

Kedua, yakni penegakan hukum. Hukum itu harus ditegakkan. Karena ketika hukum ngga ditegakkan, orang yang berbuat kesalahan akan kembali mengulangi kesalahan atau orang lain bakal ikut-ikutan. Contoh untuk mengilustrasikannya adalah kasus Ariel. Gua setuju Ariel itu dipenjara bukan karena dia ngerekam ketika dia sedang berhubungan badan, gua bahkan setuju Ariel itu dipenjara bukan karena dia selingkuh. Tetapi berdasarkan penyelidikan Ariel terbukti memperlihatkan video itu ke temannya. Begini, ketika dia berhubungan badan dengan cewek cewek itu pasti ada persetujuan dari cewek itu kan? Ketika dia ngerekam pasti juga ada persetujuan dari cewek itu kan? Tapi, apakah ketika dia memperlihatkan ke temannya, apakah dia meminta persetujuan dari cewek itu? Ngga. Jadi Ariel ini udah melanggar kepercayaan yang itu cewek kasih ke dia. Gua punya adik cewek dan banyak teman cewek dan gua ga mau itu bakal terjadi lagi. Ariel ini kan terkenal, ketika hukum ga ditegakkan secara keras ke dia. Gua yakin orang lain bakal ikut-ikutan memamerkan kalo dia pernah ciuman atau telanjang dengan ceweknya.

Ketiga, kita harus bisa membedakan mana orang bodoh dan orang goblok. Orang bodoh bisa dimusnahin dengan pendidikan. Sedangkan, orang goblok ya harus musnah aja gitu. Dan perlu gua garisbawahi goblok ga Cuma bisa terjadi pada orang yang ga berpendidikan tapi juga ke orang berpendidikan. Goblok adalah ketika lu bersin dan buang ingus, ketika ingus itu keluar dari hidung lu, lu liat dulu baru lu buang. Itu kan goblok. Buat apa diliat coba. Lu  berharap itu apa? Emas? Jadinya untung aja lu lihat dan ga lu buang? Kan nggaa. Atau mau yang lebih parah? Coba lu search pencurian mesin ATM yang gagal, disitu bakal diperlihatkan pencurian yang goblok. Jadi si pencuri ini udah berhasil melepas mesin ATM dari dindingnya, udah berhasil masukin mesin ATM itu ke mobil, udah berhasil bawa itu ke rumahnya. Sampai di rumahnya, dia malah panic, buang barang dan piring. Karena dia tinggal di tempat yang padat penduduk jadi rumahnya mepet dengan rumah yang lain. Si tetangga denger kegaduhan itu dan lihat ada mesin ATM di rumah si pencuri, nah di telponlah polisi dan tertangkap si pencuri. Pertanyaannya, si pencuri ini udah berhasil membawa itu mesin ATM sampai di rumahnya, tapi kenapa dia malah panic dan banting piring? Ternyata mesin ATM yang dia curi adalah mesin ATM non-tunai.

Terakhir, kunci untuk memajukan bangsa ini adalah dengan memfokuskan pada SDM nya. SDM nya ini harus diberikan pendidikan yang membuat orang itu siap menyongsong masa sekarang dan masa mendatang.

Nah, udah begitu aja sih. Sebenarnya tulisan ini terinspirasi dari monolognya Pandji Pragiwaksono di salah satu acaranya beberapa waktu yang lalu. Ya dengan tambahan ada beberapa dari gua sendiri. Intinya ini hanya sebagai refreshing aja buat gua sebelum ujian minggu depan. Ciao.
 
Makasih buat yang udah baca.

Bangsa (2-End)

by on 12/05/2015 08:01:00 PM
Terus, mari kita bicara tentang pendidikan di Indonesia. Gua sebagai yang masih menerima pendidikan di Indonesia sebenarnya ga berhak ...


Gua kembali setelah sekian lama ga nulis. Sekarang niat banget mau nulis padahal minggu depan mau ujian semester. Ya, biarlah buat refresh dikit. Kali ini gua mau bahas tentang bangsa kita ini. Indonesia. Kita sebagai warganya of course sayang dan cinta banget dengan bangsa kita ini. Tapi, as we know di negara kita ini masih aja ada perselisihan. Entah itu antar suku, antar agama, dan lain-lain. Padahal di dasar negara kita, pada sila ketiga tepatnya ada pernyataan “Persatuan Indonesia” dan itu adalah impian gua buat Indonesia agar bersatu.

Menurut gua, kenapa Indonesia itu susah bersatu, karena adanya mayoritas dan minoritas. Gua bukan nyalahin secara jumlahnya, tapi alasannya adalah yang mayoritas belagu di depan yang minoritas dan yang minoritas merasa kerdil di depan yang mayoritas.

Sebenarnya bagaimana minoritas itu? Mari kita bicara secara statistik. Menurut BPS, ada sekitar 0.7% warga Indonesia itu difabel. Different but able. Mereka beda tapi mereka bisa. Karena pernah kita lihat ada orang yang tangannya ga sempurna tapi dia bisa membuat lukisan yang indah menggunakan kakinya. Seharusnya, mereka pun berhak berkarier selayaknya kita yang manusia normal. Tapi kenapa mereka ga bisa? Karena kurangnya fasilitas buat mereka. Contoh sederhana fasilitas itu adalah tangga. Kebanyakan fasilitas tangga di Indonesia itu hanya tangga seperti biasa yang hanya bisa dilewati oleh orang normal, dan ga ada tangga yang landai buat difabel yang memakai kursi roda.

Minoritas lainnya adalah pengusaha. Sekitar 1.56% warga Indonesia adalah pengusaha. Tapi kenapa mereka tertindas? Sebelum kesitu, gua mau kasih tau untuk ukuran menjadi negara maju minimal pengusaha di negara tersebut adalah 2 persen. Seperti di Filipina ataupun Thailand yang udah sampai 4 persen, bahkan di Singapura itu udah sampai 11% dan kita nyentuh dua persen saja tidak. So, apa yang membuat mereka tertindas? Yaitu pengusaha asing. Karena kita di Indonesia dijadiin market karena ga ada produsen. Padahal, tulang punggung negara kita adalah UKM dan kebanyakan pengusaha lokal ini adalah pengusaha kecil. Kasihan mereka akhirnya kalah bersaing dengan pengusaha asing. Dan yang paling penting, orang asing itu paham bedanya obsesi orang barat dengan orang Indonesia dalam dunia bisnis. Obsesi orang barat itu adalah ukuran sedangkan kita adalah jumlah. Contoh kecil misalnya makan. Kalo pergi ke McDonalds dan lu pesan Big Mac itu kan gede banget ya, karena itu sesuai dengan obsesi orang barat dan orang Indonesia ga minat begitu. Orang Indonesia itu cukup nasi aja, tapi banyak. Atau kalo orang barat pesan minuman biasanya menggunakan gelas besar. Orang Indonesia cukup gelas kecil saja tapi refill.

Next, 5% orang Indonesia itu keturunan Tionghoa. Walaupun mereka minoritas tapi sekarang mereka itu udah bisa mendapatkan hak-hak mereka, seperti ketika perayaan Imlek tiba-tiba banyak mall berubah menjadi Shanghai begitu. Nah, kenapa mereka bisa mendapatkan hak-hak mereka? Karena mereka itu menguasai 95% ekonomi kita. Gokil ga tuh? Walaupun, kalau kita flashback ke masa lalu ketika masa tahun ’98, bukan hanya terjadi kerusuhan, penjarahan tapi orang Tionghoa itu dipukul, dibunuh, bahkan diperkosa di pinggir jalan. Itu adalah bagian dari sejarah kelam bangsa kita dan banyak dari kita itu melupakannya.

Kaum minoritas berikutnya ini rada sensitive kalo kita bahas. Kaum Gay. Sekitar 6% orang Indonesia adalah gay atau sekitar 16 jutaan orang. Kalo dibandingkan dengan penduduk di Indonesia, satu dari 17 orang Indonesia adalah gay. Paling ga enak ketika menjadi gay adalah lingkungan Indonesia itu ga bisa menerima kaum gay tersebut. Mereka ga bisa menjadi diri mereka sendiri. Umumnya reaksi orang Indonesia terutama laki-laki itu mereka ga suka berteman dengan gay karena gay itu dosa. Kan aneh ya. Kalo alasannya begitu, harusnya dia ga berteman dengan siapapun karena siapapun pasti pernah berbuat dosa. Bedanya yang gay itu suka sesama laki-laki sedangkan yang normal suka sama perempuan. Cowok itu kadang suka bingung bagaimana cara menanggapi becandaan mereka yang ngondek begitu, takutnya ketika si cowok ketawa nanti dikira afirmatif atau dikira suka sama si gay. Padahal, itu hanya becandaannya mereka begitu. Kalo lu pernah ke Bandung, lu pasti tau GOR Saparua. Di luar GOR itu ada lapangan voli. Setiap Rabu sore, ada sekelompok waria main disana. Kalo lihat mereka main itu bawaannya pengen ketawa aja. Kenapa? Karena ketika mereka main biasa sambil teriak histeris just like women tapi ketika mereka nge-smash­ teriaknya laki banget. Menurut seharusnya, mereka itu ga dijauhin tetapi didekati, diberi penjelasan, dikasih tau jalan yang benar itu bagaimana supaya mereka jadi bener. Ketika mereka dijauhin maka mereka akan tetap begitu.

Lalu kaum minoritas berikutnya adalah perempuan. Jumlah mereka sekitar 49.66% yang berarti sekitar ratusan juta orang. Mereka banyak tapi mereka tertindas seperti halnya minoritas lainnya. Kenapa gua bisa bilang begitu? Kita lihat dari bagaimana negara kita menyikapi kasus pemerkosaan. Di negara ini, supaya tidak terjadi pemerkosaan perempuan disuruh memakai pakaian tertutup. Memang dalam agama gua, wanita itu harusnya memakai pakaian tertutup. Tapi kan yang merkosa laki. Harusnya laki-laki dibilangin, “Heh, jaga kemaluan lu itu”. Itu baru bener.  Emang pemerkosaan itu selalu karena perempuan pakai pakaian terbuka? Ngga. Coba lu googling negara dengan kasus pemerkosaan tertinggi di dunia itu dimana. Di Timur Tengah. Daerah yang banyak perempuannya pakai pakaian tertutup. Karena pemerkosaan itu terjadi bukan karena pakaian terbuka atau tertutupnya tapi karena dia terbiasa atau ngganya aja.

Dari presentase kaum perempuan itu kalo dibandingin, untuk 11 orang laki-laki ada 10 perempuan. Jadi bisa dipastiin ada satu laki-laki yang ga dapat pasangan. Jomblo. Dan menurut gua, jomblo itu juga kaum minoritas yang paling kasihan. Gua punya satu teori yang cukup ampuh. Listen. Perempuan itu butuhnya perhatian dan laki-laki itu butuhnya pengakuan. Kasih dia lebih dari yang dia dapatkan dari pasangannya, dia bakal jadi milik lu.

Perempuan itu butuhnya perhatian bukan pengakuan. Laki-laki sering salah perihal itu. Perempuan paling ga suka dikasih pengakuan dan dipuji-puji begitu. Perempuan ga nyari begitu. Hal yang basi adalah laki-laki ngomong ke perempuan, “Hei, kamu cantik deh” Halah basi. Perempuan ga suka digituin karena perempuan lebih suka dikasih perhatian. Tunjukkin bahwa lu merhatiin hal-hal kecil dari si perempuan tersebut. Begini caranya, sebut  nama dia, perhatiin dia rada lama seolah nunjukkin kalo lu merhatiin hal-hal kecil dari dia. Misal, “Gita, kamu baru potong poni ya?” atau “Gita, kamu pakai parfum baru ya?” Cewek lu gituin, hidungnya deg-degan. Kembang-kempis. Dia mau teriak tapi tertahan karena ada laki-laki didepannya.

Sebaliknya, laki-laki itu butuh pengakuan bukan perhatian. Laki-laki itu ga butuh perhatian semisal, “Kamu udah makan belum? Kamu udah tidur belum? Kamu udah sunat belum?”. Perempuan sering salah begitu. Harusnya, kamu samperin begitu dan puji aja semisal, “Kamu kalau pakai kemeja hitam lebih keliatan maskulin begitu,”. Laki-laki dibegituin mukanya Harlem Shake. Ya begitu deh.

Bangsa (1)

by on 12/04/2015 06:55:00 PM
Gua kembali setelah sekian lama ga nulis. Sekarang niat banget mau nulis padahal minggu depan mau ujian semester. Ya, biarlah buat ref...
Mungkin ini adalah tulisan terserius yang saya tulis di blog selama ini. Ga akan main masalah curhat-curhatan. Saya cuma mau bahas bagaimana saya menyikapi berbagai reaksi terhadap seorang Lia Aminuddin atau di Indonesia, kita sering kenal dengan Lia Eden.

For your information, untuk yang belum tahu, what's happening. Apa lagi yang diperbuat oleh Lia Eden ini. Jadi, Ibu Lia ini mengirimkan surat kepada Gubernur Jakarta saat ini Pak Ahok dan Presiden kita Pak Jokowi untuk meminta izin agar sebuah pesawat UFO dapat diizinkan untuk mendarat di Monas dan membawanya pergi. Tidak sampai disitu, Ibu Lia juga mengatakan bahwa apabila jika dia sudah sampai di surga, beliau akan mengirimkan sebuah dokumentasi perjalanan termasuk suasana di surga.

Mungkin Anda yang membaca berita singkat diatas akan tertawa. Sama seperti kebanyakan orang lainnya yang juga tertawa setelah membaca berita itu. Namun, tak sedikit juga yang memberikan sebuah sentilan negatif kepada mereka yang menertawakan berita tersebut. Yang intinya itu tidak jauh-jauh dari, "Jangan mentang-mentang keyakinannya aneh kemudian kalian menertawakannya".

Lalu, seharusnya bagaimana? Apakah kita bisa menertawakannya?

Saya sebagai orang yang sedang belajar menjadi seorang komika atau orang yang melakukan Stand Up Comedy, saya diberi tahu sesuatu tentang tertawa.

Tertawa merupakan sebuah refleks. Entah saya lupa istilah dalam bahasa Inggrisnya.

So, untuk melarang orang tertawa itu sangat sulit memang.

Justru tugas sebagai seorang komika itu adalah mengejutkan kita dengan punchline mereka sehingga kita bisa tertawa.

Terkadang ya, kalau saya nonton di TV atau melihat seorang komika secara langsung sedang open mic (melakukan Stand Up Comedy) ketika ia melemparkan sebuah materi yang actually tabu. Sebenernya, saya enggan tertawa. Tapi mau bagaimana lagi? That's funny. Seringkali ketika setelah tertawa, saya malah bergumam sendiri, "Astaghfirullah, kenapa gua ketawa. Padahal parah banget itu".

Komika terkenal yang biasanya bikin saya merasa seperti itu adalah Yudha Keling, Beno, ataupun Dani yang sedang berkompetisi di salah satu acara kompetisi Stand Up Comedy saat ini di salah satu stasiun televisi swasta. Khusus mereka bertiga, mereka sering membuat materi dari kekurangan fisik mereka untuk membuat para penonton tertawa.

Namun, kalau kita bicara mengenai keyakinan. Apakah kita boleh menertawakan keyakinan orang lain? It depends, dude. Apakah anda bisa menerima nggak keyakinannya ditertawakan.

Misalnya saya. Saya pertama kali membaca berita diatas, saya menertawakan Lia Eden. Nyesel sih setelahnya dan kasihan pula. Lebih kasihan lagi kepada pengikutnya. But, my reflect reaction is laughing on it.

Karena, ayolah, "Saya akan menayangkan dokumentasi suasana surga yang ada di luar angkasa"? Are you kidding me?

Saya juga yakin Rasulullah juga dulu ditertawakan ketika pertama kali mengatakan hal-hal yang beliau yakini kepada orang-orang yang ada disekitarnya.

Tetapi, saya menertawakan Lia karena saya sih biasa saja kalau keyakinan saya ditertawakan. Karena itu adalah urusan yang menertawakan dengan Allah. Apapun yang mereka katakan tentang Allah, tidak akan sedikitpun akan merusak keimanan saya.

Saya pernah membaca sebuah majalah yang membahas komunitas Eden yang dibuat oleh Ibu Lia beberapa tahun yang lalu, walaupun ketika itu saya masih SMP namun agaknya saya sedikit paham.

Percaya deh, mereka pun menertawakan kita.

Seperti kita menertawakan mereka.

Sebagaimana orang atheis menertawakan orang beragama.

Sebagaimana orang yang menertawakan orang yang keyakinannya berbeda dengan miliknya.

Karena semua orang itu menertawakan orang lain. Bahkan semua tawa yang kita keluarkan itu datang dari objek lain yang lebih rendah atau lebih sial atau lebih kurang daripada kita. Serius, saya bahkan sering mengalami menjadi objek tersebut.

You can believe it or not.

Tapi, coba dipikir-pikir deh. Semua tawa itu karena ada objeknya yang kita tertawakan.

Kita tertawa terhadap Donal Duck karena dia sial atau dia marah-marah, kan? Ataupun juga, kita tertawa terhadap Spongebob dan Patrick karena kelakuan mereka yang konyol, kan? Kita tertawa terhadap anggota Srimulat karena mereka mengizinkan kita untuk menertawakan mereka bukan?

Anda mungkin tidak menertawakan keyakinan mereka. Tetapi, anda menertawakan politisi. Anda juga mungkin tidak menertawakan politisi, namun anda menertawakan artis-artis yang berkelakuan aneh di layar kaca. Atau juga, Anda tidak menertawakan artis itu, namun Anda bisa saja menertawakan teman sekolah Anda yang kakinya kecemplung di got. Untuk yang terakhir, teman SMA saya mengalami itu dan saya menertawakannya.

Jadi, kapanpun Anda tertawa, itu disebabkan karena ada objek yang ditertawakan. Nah, apakah lawakan tersebut itu menyinggung orang?

I'm sure. Pasti ada.

Untuk itu, saya tahu dua hal mengenai lawakan dan ketersinggungan. Bahasanya seperti di kalkulus dasar ya. Ketersinggungan.

Pertama.
Ketersinggungan itu tidak datang dari yang memberikan lawakan. Karena "Offense is taken, not given". Misalnya, ketika saya melawak di depan Anda, saya tidak bisa membuat Anda tersinggung. Namun, Anda sendiri yang akan memutuskan apakah anda tersinggung atau tidak.

Misalnya, ketika saya sedang melawak di depan kelas dan melemparkan sebuah joke yang sama di depan banyak orang, tentu banyak yang akan tertawa dan ada yang tersinggung. Anda bisa mencaci maki saya dengan bahasa yang kasar, apapun itu dan saya bisa saja tidak tersinggung.

Karena, ada sebuah statement yang menyatakan, "Orang minder itu mudah tersinggung". Jadi, ketika ada teman saya atau yang lainnya mendengarkan saya melucu kemudian mereka berkata, "Ah garing". Saya sih woles saja. Karena saya yakin dengan kemampuan melucu saya.

Second.
Lebih sering terjadi di Indonesia adalah orang tersinggung untuk orang lain. Contohnya, A melawak tentang B eh yang tersinggung malah D. Padahal si B nya itu menanggapinya biasa saja. Jadi, buat apa si C tersinggung? Kenapa dia marah padahal bukan dia yang dijadikan objek lawakan?

That's often happening in Indonesia.

Waktu saya sekolah dulu ataupun ketika kuliah sekarang, ada aja orang yang berseloroh seperti ini.

"MANA ORANGNYA? SIAPA DIA? TUNJUKKIN!"
"Udah ah, santai aja gua."
"GA BISA GITU. ITU ORANG UDAH KAGA BENER"
"Udah, udah. Gapapa kok"
"GA BISA. LU TEMEN GUA. ITU ORANG MESTI DIKASIH PELAJARAN"

Yang beginian ini nih, yang bakal hanya memperkeruh suasana yang padahal sebenarnya biasa aja.

Percaya deh, kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah salah satu kunci untuk hidup lebih bahagia.

To close this post, saya bakal cerita apa yang terjadi selama saya sekolah di MAN dulu. Saya sering dijadikan objek lawakan oleh teman-teman saya yang lain. Terkadang, objek lawakannya itu yang menunjukkan kekurangan saya. Kurang kurus misalnya. Ataupun juga, objek lawakannya itu saya sering dijodoh-jodohkan dengan teman perempuan saya yang lain. Padahal, ga ada apa-apa antara saya dan teman perempuan saya itu. Saya yang dijadikan bahan lawakan pun kadang ikut ngakak juga, kadang pula pasang muka bete gitu (biar dapet aja lucunya).

Namun, apakah saya tersinggung? Tidak. Malah saya merasa bahagia karena melihat teman-teman di sekitar saya itu bahagia karena tertawa. Itu juga merupakan salah satu alasan saya rindu bertemu dengan mereka, teman-teman masa SMA saya itu. Rindu tertawa bersama mereka.

Makanya saya beri tahu satu kali lagi,

Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah salah satu kunci untuk hidup lebih bahagia. Bukan cuma kita sendiri yang bahagia. Namun, orang di sekitar kita pun ikut bahagia.

Tertawa

by on 5/31/2015 04:16:00 PM
Mungkin ini adalah tulisan terserius yang saya tulis di blog selama ini. Ga akan main masalah curhat-curhatan. Saya cuma mau bahas bagaiman...


   “Jadi, menurutmu harus melewati kesendirian untuk mendapatkan cinta, begitu?” tanyanya setelah aku menjelaskan.
     “Tidak juga. Mungkin lebih ke memahami kesendirian. Ya, walaupun untuk memahami kesendirian, jalan yang paling bagus itu dengan merasakannya.”
     “Tapi, aku sudah merasakannya. Terus, cinta itu kapan datang? Tuhan tidak adil!”
     “Pasti ada waktunya. Kalau kau belum dapat, pasti Tuhan sudah menyiapkan  yang terbaik untuk kau. Sabar saja.”
     “Sebenarnya, ada seorang pria yang dekat denganku.”
     “Seberapa dekat?”
     “Cukup dekat. Kami bahkan sudah saling mengenalkan orang tua. Aku merasa sepertinya dia adalah jodohku. Tapi, ternyata tidak.”
     “Kenapa?”
     “Karena dia berselingkuh dengan wanita lain.”
     “Pasti temanmu.”
     “Bagaimana kau tahu?”
     Aku tertawa kecil, “Di Indonesia, paling besar presentase pasangan yang selingkuh itu selingkuh dengan temannya atau teman pasangannya. Contohnya, ada musisi di sana juga melakukannya,” dia hanya terdiam, “Makanya, kadang-kadang sinetron atau film yang dibuat disana itu, permasalahannya tidak jauh-jauh dari itu. Selingkuh,” tambahku.
     “Laki-laki itu banyak yang tidak setia!” bentaknya dengan nada yang sedikit meninggi. Aku memasang tampang poker face. Apa dia tidak sadar kalau dia sedang berbicara dengan laki-laki?
     “Sudah. Mungkin memang bukan dia jodohmu. Masih ada milyaran laki-laki selain dia, pasti Tuhan sudah menyimpan yang terbaik buat kau,” nasihatku.
     Dia langsung menatapku tajam, “Kau mau modus dan mengambil hatiku?”
     Aku tertawa, “Tidak. Aku sedang tidak minat modusin perempuan.”
     Dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Aku pun menatap jendela itu. Ternyata, hujan sedang membasahi tanah Singapura. Hujan pada bulan Desember. Orang-orang di luar berlari kecil mencari tempat berteduh. Ada juga pasangan muda yang berteduh di depan kafe ini. Sepertinya, doa para jomblo di malam minggu dikabulkan Tuhan kali ini.
     “Hei,” suara wanita di depanku membuyarkan lamunanku.
     “Kenapa?”
     “Coba kau bicara tentang kesetiaan, aku mau mendengar pendapatmu tentang kesetiaan,” ujarnya.
     Aku berpikir sejenak, “Kesetiaan itu…”
***
     Bisa diibaratkan toko yang menjual vas-vas porselen yang indah. Toko yang kuncinya diberikan pada kita oleh cinta.
     Tiap-tiap vas itu indah karena saling berbeda, sebagaimana halnya setiap orang, setiap tetes hujan, setiap batu karang yang terlelap di lereng gunung.
     Kadang-kadang, karena termakan usia atau kerusakan kecil tak terlihat, salah satu rak ambruk dan isinya berjatuhan. Lalu, si pemilik toko berkata pada dirinya sendiri, “Selama bertahuun-tahun aku mencurahkan waktu dan kasih sayangku pada koleksi vas ini. Namun, mereka mengkhianatiku dan pecah berkeping-keping.”
     Maka dia pun menjual tokonya dan pergi dari situ. Dia menjadi manusia yang pahit dan penyendiri, sebab dia merasa takkan pernah bisa memercayai siapa pun lagi.
     Memang benar, ada beberapa vas yang pecah seperti janji setia yang dilanggar. Dalam hal demikian, sapulah keeping-keping yang pecah itu dan buanglah, sebab apa yang sudah pecah takkan pernah bisa sama lagi.
     Tetapi, kadang-kadang sebuah rak ambruk dan pecah bukan semata-mata karena perbuatan manusia. Bisa jadi karena gempa bumi, invasi musuh, atau kecerobohan orang yang masuk ke dalam toko tanpa melihat kiri-kanan.
     Para lelaki dan perempuan saling menyalahkan. Kata mereka, “Harusnya ada orang yang tahu hal ini akan terjadi,” atau, ” Seandainya aku mengawasi, masalah ini tentunya bisa dihindari.”
     Padahal ini salah besar, kita semua terpenjara dalam butiran-butiran waktu, dan tidak ada kendali atasnya.
     Waktu berlalu, dan rak yang ambruk itu diperbaiki.
     Vas-vas lain berebut ingin mendapat tempat di dunia dan dipajang di sana. Pemilik toko yang baru, memahami bahwa tak ada sesuatu yang abadi. Maka dia tersenyum dan berkata dalam hati, “Tragedi itu membuka peluang baru untukku dan akan kucoba memanfaatkannya sebaik mungkin. Akan kutemukan karya-karya seni yang selama ini bahkan tidak kuketahui keberadaannya.”
     Keindahan toko yang menjual vas-vas porselen itu adalah keunikan tiap-tiap vasnya, namun, ketika dipajang berdampingan, vas-vas itu memancarkann keselarasan dan mencerminkan kerja keras si pembuatnya, serta jiwa seni pelukisnya.
     Masing-masing karya seni bisa berkata dengan mudahnya, “Aku ingin diperhatikan, dan aku akan keluar dari sini.” Tapi begitu dia mencoba melakukannya, dia pun diubah menjadi tumpukan beling tak berguna.
     Seperti halnya vas-vas itu, begitu pula dengan laki-laki dan perempuan.
     Setelah memahami hal ini, barulah kita bisa duduk berdampingan dengan tetangga kita di penghujung hari, mendengarkan perkataannya dengan rasa hormat, dan menanggapi dengan ucapan yang perlu didengarnya. Dan kita tak akan mencoba memaksakan pendapat kita pada satu sama lain.
     Di atas pegunungan yang memisahkan suku-suku bangsa, di atas jarak yang memisahkan raga, ada komunitas jiwa-jiwa. Dan kita adalah bagian dari komunitas itu. Jalanan-jalanannya tidak disesaki dengan kata-kata yang asal terucap, yang ada hanyalah jalanan-jalanan lebar yang menghubungkan tempat-tempat jauh, dan sesekali mesti diperbaiki karena rusak dimakan waktu.
     Dengan demikian, kekasih yang pulang takkan pernah dipandang dengan curiga, sebab kesetiaan menemani setiap langkahnya.
***
     Aku menarik nafas panjang setelah menjawab pertanyaannya. Dia hanya terpaku melihatku.
     “Aku tidak mengerti.”
     “Tidak perlu kau mengerti. Nanti juga kau akan merasakan.”
     Lalu, hanya keheningan yang berembus diantara kita. Suasana kafe itu pun sudah mulai sepi, orang-orang sudah mulai pulang. Hujan juga sudah mulai berhenti. Aku menengok arloji di tanganku. Waktu cepat sekali berlalu.
     “Terima kasih sudah menemaniku malam ini. Jawaban-jawabanmu itu sedikit membuka pikiranku,” ujarnya.
     Anytime. Senang bisa membantu.”
     “Sepertinya, aku harus pergi. Sudah mulai larut ini,” katanya sambil berdiri dari tempat duduknya dan bersiap beranjak pergi.
     “Tunggu,” ujarku sambil menahan tangannya, “Kita sudah berbicara lama, tapi aku belum tahu namamu.”
     Dia tersenyum. “Namaku adalah…”

END.
Inspired by Paulo Coelho’s book
“Manuscrito Encontrado em Accra”